Friday, 21 November 2014

Psikologi Agama " Ciri-ciri orng yang matang beragama"




Psikologi Agama
“Ciri-ciri Orang Yang Matang Beragama”
DOSEN PENGAMPU :  Drs. Dulhadi, M. Pd


DI SUSUN

O
L
E
H

Susantai : 1113211446
M.Suhaimi : 1113211550

SEMESTER : VI
FAKULTAS  : USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN: BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
 




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemampuan seseorang  untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia mengalami dua macam  perkembangan, yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Puncak perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis, perkembangan  jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan  rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).
      Sebaliknya, dalam kehidupan tidak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman agama serta tipe kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian, pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Ciri dan Sikap keberagamaan?
2. Bagaimanakah pengertian dari Mistisisme Dan Psikologi Agama?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui Ciri-ciri Orang Yang Matang Beragama
2. Mengetahui pengertian dari Mistisisme Dan Psikologi Agama.
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Ciri-ciri Orang Yang Matang Beragama Islam
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang men- jaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memeli- hara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalat. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi." (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
Ilmu jiwa agama adalah suatu bidang disiplin ilmu yang berusaha mengeksplorasi perasaan dan pengalaman dalam kehidupan seseorang. Penelitian itu didasarkan atas dua hal yaitu sejauh mana kesadaran beragama (religious counsciousness) dan pengalaman beragama (religious experience). Apabila standar itu kita coba terapkan pada seseorang yang secara spesifik beragama Islam, maka akan kita lihat beberapa standar diantaranya Al-Qur'an dan As-Sunnah dan penjelasan para ulama.
a.       Al-Qur’an
Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang yang matang beragama Islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama pada Surah Al-Mu'minun dan bagian akhir dari Surah Al-Furqan.
1.      Mereka yang khusyu' shalatnya
2.      Menjauhkan diri dari (perbuatan-perbuatan) tiada berguna
3.      Menunaikan zakat
4.      Menjaga kemaluannya kecuali kepada isteri-isteri yang sah
5.      Jauh dari perbuatan melampaui batas (zina, homoseksual, dan lain-lain)
6.      Memelihara amanat dan janji yang dipikulnya
7.      Memelihara shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
8.      Merendahkan diri dan bertawadlu'
9.      Menghidupkan malamnya dengan bersujud (Qiyamullail)
10.  Selalu takut dan meminta ampunan agar terjauh dari jahanam
11.  Membelanjakan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula kikir
12.  Tidak menyekutukan allah, tidak membunuh, tidak berzina

Suka bertaubat, tidak memberi persaksian palsu dan jauh dari perbuatan sia-sia, memperhatikan Al-Qur'an, bersabar, dan mengharap keturunan yang bertaqwa (QS. Al-Furqan : 63 - 67)
b.      As-sunnah
Rasulullah SAW memberikan batas minimal bagi seorang yang disebut muslim yaitu disebut muslim itu apabila muslim-muslim lain merasa aman dari lidah dan tangannya (HR. Muslim). Sementara ciri-ciri lain disebutkan cukup banyak bagi orang yang meningkatkan kualitas keimanannya. Sehingga tidak jarang Nabi SAW menganjurkan dengan cara peringatan, seperti : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaknya dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri" (HR. Bukhari). "Tidak beriman seseorang sampai tetangganya merasa aman dari gangguannya" (HR. Bukhari dan Muslim). "Tidak beriman seseorang kepada Allah sehingga dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada kecintaan lainnya..." (HR. Muslim). Dengan demikian petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kepada seseorang yang beragama Islam agar dia menjaga lidah dan tangannya sehingga tidak mengganggu orang lain, demikian juga dia menghormati tetangganya, saudara sesama muslim dan sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.



Ringkas kata, dia berpedoman kepada petunjuk Al-Qur'an dan mengikuti contoh praktek Rasulullah SAW, sehingga dia betul-betul menjaga hubungan "hablum minallah" (hubungan vertikal) dan "hablum minannaas" (hubungan horizontal).
Peringatan shahabat Ali r.a. bahwa klimaks orang ciri keagamaannya matang adalah apabila orang tersebut bertaqwa kepada Allah SWT. Dan inti taqwa itu ada empat, menurut Ali r.a. Mengamalkan isi Al-Qur'an Mempunyai rasa takut kepada Allah sehingga berbuat sesuai dengan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya Merasa puas dengan pemberian atau karunia Allah SWT meskipun terasa sedikit Persiapan untuk menjelang kematian dengan meningkatkan kualitas keimanan dan amal shaleh.
Sedangkan Ibnul Qoyyim, ulama abad ke 7, menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang beragama Islamnya. Dia terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar selalu bertambah kualitasnya Dia terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya kebesaran dan keagungan Allah serta segala yang dijanjikan di akherat kelak, sehingga dia menyibukkan diri untuk meraihnya Dia terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan untuk memikirkan ayat-ayat Allah Al-Kauniyah (cipataan-Nya) dan Al-Qur'aniyah (firman-Nya).
Dia terbina perasaannya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan kepada allah, senang atau benci, marah atau rela, semuanya karena Allah.
Dia terbina akhlaknya dimana kepribadiannya di bangun diatas pondasi akhlak mulia sehingga kalau berbicara dia jujur, bermuka manis, menyantuni yang tidak mampu, tidak menyakiti orang lain dan berbagai akhlak mulia
Dia terbina kemasyarakatannya karena menyadari sebagai makhluk sosial, dia harus memperhatikan lingkungannya sehingga dia berperan aktif mensejahterakan masyarakat baik intelektualitasnya, ekonominya, kegotang-royongannya, dan lain-lain. Dia terbina keamuannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke arah yang distruktif tetapi justru diarahkan sesuai dengan kehendak Allah. Kemauan yang mendorongnya selalu beramal shaleh Dia terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak badan untuk ketaatan kepada Allah karena Rasulullah SAW bersabda : "Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai Allah daripada mukmin yang lemah" (HR. Ahmad)
Dia terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkan kepada perkawinan yang dihalalkan Allah SWT sehingga dapat menghasilkan keturunan yang shaleh dan bermanfaat bagi agama dan negara. Demikian secara ringkas kami paparkan kriteria ideal untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana kematangan beragama Islam seseorang. Sengaja kami batasi agama Islam karena pembahasan ciri-ciri beragama secara umum terlalu luas. Dan perlu kita ingat dalam kondisi masyarakat yang komplek dengan problematika kehidupannya, maka sungguh orang yang beragamalah yang akan terhindar dari penyakit stress, kata Robert Bowley.

2.   PENGERTIAN MISTISISME
Kata mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata”. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hala yang berkaitan denganpengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.
Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam agama-agama lain.
Tasawuf atau mistisisme—sebagaimana dengan mistisisme di luar agama Islam—mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.1
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Tujuan dari mistisisme adalah memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang barada dihadirat Tuhan.2
Cirri khas mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik, atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan (wihdah, dalam istilah tasawuf Islam). 3
v  KARAKTERISTIK MISTISISME
William James, menjelaskan tentang kondisi mistisisme. Menurutnya, kondisi tersebut ditandai dengan empat karakteristik:4
Ia merupakan sustu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (stste of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun.
Ia merupakan merupakan suatu kondisi pemahaman (neotic), sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif. Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan.
Ia merupakan kondisi pasif (passivity).
Sedangkan menurut Al-Taftazani mengungkap lima karakteristik, di mana karakteristik tersebut memiliki cirri-ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Karakteristik tersebut adalah:5
a. Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk merealisasikan nilai-nilai itu.
b. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana yaitu, bahwa dengan latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu. Di mana dia sudah tidak lagi merasakan adanya diri ataupun kekuatannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas tertinggi.
c. Pengetahuan intuitif langsung, yaitu metode pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasfy atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus.
d. Ketentraman atau kebahagiaan. Seorang sufi atau mistikus akan tebebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
e. Penggunaan symbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan symbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisis serta pendalaman. Tasawuf atau mistisisme adalah kondisi-kondisi yang khusus, mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan kondisi yang sama pada semua orang.
v  SUFISME DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA
Aspek-aspek psikis dalam mistisisme telah banyak dikaji oleh para ahli ilmu jiwa agama. Seperti William James, James Leuba, Roger Bastide, evelyn Underhill dan Robert Thouless. Nama yang terakhir ini, misalnya, membahas mistisisme dengan mengawalinya pada arti penting mistisisme bagi psikologi agama, yaitu sebagai rangsangan kreatif dalam pemikiran keagamaan.
Kontemplasi merupakan bagian dari kehidupan para mistikus. Terdapat dua tipe kontemplasi yaitu, pertama, sebagai system latihan mental seperti meditasi; kedua, sebagai system aturan perilaku yang disebut asketik. Dalam tipe kedua—sebagai system aturan perilaku—mempunyai cirri sebagai penolakan untuk melakukan tindakan-tindakan instingtif atau adat istiadat dan pembiasaan melakukan perbuatan-perbuatan menyakitkan.
Latihan-latihan mental para mistikus diarahkan pada pengekangan-pengekangan perilaku. Mereka dilatih berpikir tentang tentang keterkaitan antara makanan dan minuman dengan akibat yang tidak menyenangkan dan tranformasinya dalam tubuh, sehingga mereka tidak lagi memilki keinginan untuk makan dan minum.
Pada tahap berikutnya adalah sampai pada tingkat bersau (kemanunggalan) yang biasanya terungkap lewat syair-syair atau doa mistik. Dalam hal ini Santa Teresa melukiskan empat tahap doa mistik, yaitu doa ketenangan, doa penyatuan, ekstasi, dan perkawinan spiritual. Mengenai hubungan antara mistisisme dengan gangguan mental itu dikemukakan oleh para tokoh mistik yang menunujukan bukti hysteria dan bukti tanda-tanda penyakit yang dikaitkan dengan sugestibilitas tingkat tinggi. Para tokoh mistik dalam upaya menyucikan diri membersihkan jiwa dari keterikatan akan kenikmatan dunia adalah dengan mengasingkan diri (‘uzlah) dan kontemplasi. Sikap demikian juga dialami oleh penderita ganguan jiwa. Di mana dalam kondisi jiwa yang tertekan, Ia mengambil sikap menarik diri dari lingkungan atau kehidupan special. Perasaan sebagaimana tersebut di atas yang kemudian memunculkan anggapan, bahwa penderita ganguan jiwa dan perilaku tokoh-tokoh mistik yang mempunyai kesamaan.
Pada bagian lain, teradap empat aspek yang dapat dikatagorikan dalam mistisisme yaiu ilmu ghaib, ilmu kebathinan, magis, dan parapsikologi. Aspek yang disebut terakhir, misalnya, membahas gejal-gejal jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera, serta perubahan yang bersifat fisik yang digerakan oleh jiwa tanpa menggunakan kekuatan yang terkait dengan tubuh manusia.
Gejala-gejala jiwa paranormal ini dimiliki seseorang berdasarkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, tanpa dipelajari sehingga memiliki kemampuan melebihi gejala jiwa yang normal seperti:
1) Kemampuan mengetahui Sesutu peristiwa yang belum terjadi, telepati, ramalan, meilihat sesuatu tanpa menggunakan mata dan sebagainya.
2)   Kemampuan melakukan pebuatan tanpa menggunkan kekuatan yang terdapat dalam fisik, pengobatan, stigmasi dan sebagainya.
Kemampuan tersebut menjadi wajar bila dimiliki oleh para pelaku sufi yang telah mencapai derajat tinggi, khususnya sampai pada tahap makrifat, sebab salah satu dari aspek makrifat adalah pencapaian hal-hal yang gaib dari Allah. Orang yang telah mencapai makrifat maka akan tersingkap tabir yang menghalanginya dengan Allah, ia akan menemukan banyak hal tentang rahasia-rahasia alam yang merupakan ilmu Allah.
BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan.
Ciri dan sifat keberagamaan dibagi menjadi dua tipe, yaitu : tipe orang yang sakit jiwa, dan tipe orang yang sehat jiwa. Ilmu pengetahuan, teknologi dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan  dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia
Sedangkan, yang dimaksud dengan moral sendiri adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut.





































No comments:

Post a Comment

DISCOVERY AND INQUIRY

DISCOVERY AND INQUIRY Bangunan berlantai dua yang berdiri diatas lahan 1508 m 2 itu tampak sunyi senyap disepertiga malam akhir. Se...