Filsafat
Dakwah
“HIDAYAH”
DOSEN
PENGAMPU : Bambang, S.R. M. Ag
DI
SUSUN
O
L
E
H
Abdul Manaf : 11133210014
M. Suhaimi : 1113211550
SEMESTER : III
FAKULTAS : USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN: BIMBINGAN KONSELING
ISLAM (BKI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah-Nya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah FILSAFAT DAKWAH, Dengan
judul “HIDAYAH”
Shalawat beriring salam
Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah
membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan
kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan
pengetahuan.
Tidak lupa kami
hanturkan terima kasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak BAMBANG,S.R,
yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun
rohani dalam perkuliahan di kampus IAIN Pontianak ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita, amin.
Pontianak, November 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak awal kehadirannya, Islam telah
memperkenalkan hakekakat manusia sebagaimana yang tercermin dalam konsep
Fitrah-nya. Namun sampai kini masih tersisa pertanyaan dikalangan kita, apa
hakikat fitrah itu sebenarnya. Para ahli telah membahas pengertian fitrah ini
dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dari perbedaan pandangan dan
pendekatan dicoba ditelusuri makna fitrah yang sesungguhnya. Perbedaan
pandangan yang ada itu, ternyata masing-masing berdiri dan berpijak pada
argumen yang kuat, sehingga berbagai argumen defenitif itu mengarah pada
pengertian yang sama.
Terdapat berbagai argumen yang lahir dari
penafsiran ayat tersebut, antara lain :
a. Fitrah berarti suci (Thuhr)
b. Fitrah berarti Islam (dienul Islam)
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah
(at-Tauhid).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana
diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Pengertian Hidayah?
2. Pembagian Hidayah Dalam
Islam?
3. Fungsi Hidayah Dalam
Islam?
C.
Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di
atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memahami Pengertian Hidayah
2. Memahami
Hidayah Dalam Islam
3. Memahami Fungsi Hidayah
Dalam Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hidayah
Hidayah sebagai
modal dasar serorang hamba dalam meraih dan mendapatkan kebahagiaan akhirat,
maupun kebahagiaan dunia, menjadi dambaan setiap orang. Namun karena pengaruh
dari luar diri manusia yang kadang menjadi kendala dan penghadang bagi
seseorang untuk meraih dan mendapatkan hidayah. Berikut dikemukakan pengertian
hidayah yang telah dikemukakan oleh para agamawan :
Kata hidayah
berasal dari kata hadaa yang berarti menunjukkan atau memberi petunjuk Anshari
(t. th, 103). Lain halnya dengan Quraish (1992; 55), bahwa hidayah berasal dari
akar kata hadaa yang berarti memberi petunjuk (atau) suatu yang mengantar
kepada apa yang diharapkan, yang disampaikan kepada manusia secara halus dan
lemah lembut. Demikian juga dengan at-Thaba-Thaba’iy (t. th; 37), bahwa hidayah
adalah menunjukkan atau memperlihatkan tujuan akhir dengan cara menunjukkan
jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Hidayah merupakan petunjuk yang halus
yang dapat membawa manusia kepada tercapainya sesuatu yang diinginkan, Abduh
(t. th; 62).
2. Pembagian Hidayah
Dalam Islam
Dalam posisinya sebagai
makhluk termulia dan khalifah di muka bumi, maka manusia senantiasa dikontrol
oleh Allah Swt., sebagai penentu pertikal. Hal ini dimaksudkan untuk
merealisasikan tujuan penciptaan manusia di muka bumi. Hidayah Allah kepada
manusia memiliki posisi yang sangat menentukan dalam rangka merebut posisi yang
layak bagi manusia dalam pandangan manusia di dalam masyarakat dan bahkan dalam
pandangan Allah Swt.
Mufassir besar Syaikh Ahmad
Mustafa al-Maraghi membagi hidayah dalam kitab tafsirnya menjadi lima macam,
sebagaimana yang dihimpun oleh Quraish (1992; 55), bahwa para agamawan membagi
hidayah Allah ke dalam empat macam dengan tahapan yang bertingkat. Tahap
pertama adalah naluri disusul dengan pancaindra, kemudian akal dan yang
terakhir adalah agama.
a.Hidayah al-Ilhami (instink, naluri)
Dalam analisa
Anshari (t. th; 104), Hidayah semacam ini tidak hanya diberikan kepada manusia
akan tetapi juga kepada hewan sekalipun. Hidayah al-Ilham ini berarti denyut
hati (gerak hati, inplus) yang ada pada manusia dan hewan, hidayah jenis ini
merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu, dorongan dimaksud tidak berdasar
pada suatu fikiran, dorongan yang hanya berupa dorongan animal, yang tidak
berdasarkan pada pikiran panjang oleh manusia. Hidayah al-Ilham ini diberikan
oleh Allah Swt., kepada manusia sejak masih bayi.
b. Hidayah al-Hawasi.
Hidayah al-Hawasi
ini bisa juga disebut dengan hidayah pancaindra. Hawas ialah dria, atau indra,
ataupun indria, yaitu alat yang peka terhadap rangsangan dating dari luar,
seperti rangsangan cahaya, rangsangan bunyi dll. Panca indra yang dimaksud
adalah alat melihat, alat mendengar, alat pencium, alat perasa, dan alat
peraba. Seperti yang Allah jelaskan dalam surat al-Balad (90) , 8-10.
“Bukankah Kami
telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir dan Kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan”.
Dalam penerimaan
hidayah jenis ini, antara manusia dan hewan memiliki persamaan. Hidayah
al-Hawasi yang berupa indra ini dianugerahkan Allah Swt., baik kepada manusia
maupun kepada hewan. Namun dalam beberapa hal indra hewani lebih sempurna
dibandingkan dengan indra manusia. Indra manusia terkadang memberikan informasi
dan laporan yang tidak benar, lagi pula sering tidak utuh dan menyeluruh. Mata
yang memandang tongkat yang ada di dalam air, seakan benkok padahal
kenyataannya tidak demikian.
c. Hidayah al-Aqli
Hidayah aqal ini
hadir untuk meluruskan kekeliruan-kekeliruan panca indra. Aqal merupakan
pengakomodir semua hal yang dihimpun oleh panca indra, kemudian membuat
kesimpulan-kesimpulan yang dapat berbeda dengan kesimpulan yang diperoleh
indra-indra tersebut. Aqal berperan melebihi peran panca indra. Aqal lebih matang,
jauh setelah kematangan panca indra dan karenanya aqal dinyatakan berada pada
tingkatan yang ketiga.
Aqal merupakan
pembeda antara manusia dan hewan, bahkan malaikat sekalipun. Hidayah aqal
inilah yang menyebabkan manusia berbudaya dan sekaligus membedakan antara hewan
dan insan. Sebagai makhluk yang berbudaya, maka manusia hidup bersama dengan
orang lain, hidup bermasyarakat, meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya
setaraf demi setaraf dari tingkat tertentu ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih
baik. Namun demikian, aqal saja tidak cukup bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan sejati dan kebenaran hakiki. Hal ini diperingatkan oleh Allah pada
surat al-Mulk (90), 22-23.
“Maka apakah orang
yang berjalan terjungkel di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk
ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus ?. Katakanlah:
Dialah yang menjadikan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”.
Hidayah al-Aqli ini
merupakan hidayah yang dikhususkan oleh Allah Swt., kepada manusia, yang
diikuti dengan hidayah al-Adyani sebagai pengendali dan pelurus aqal agar
jangan tersesat dari jalan-Nya.
d. Hidayah al-Adyani
Hidayah al-Adyani
ini biasa juga disebut dengan hidayah agama. Dengan aqal budi manusia
semata-mata, belum merupakan jaminan bagi manusia untuk sampai kepada kebenaran
yang hakiki. Dengan agama, Tuhan telah memperkenalkan kebenaran demi kebenaran.
Kebenaran wahyu untuk mencapai hasrat citanya, kebahagiaan sejati dan kebenaran
hakiki yang disuarakan dalam ayat demi ayat-Nya.
Dalam kaca mata, Nasution
(1986 ; 79) Aqal sebagai hidayah yang diberikan oleh Allah Swt., merupakan
bekal bagi manusia untuk dapat berfikir. Kekuatan fikir yang ada dalam diri
manusia ini, menyebabkan dia berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan dan wahyu
sebagai penghabaran dari alam metafisika turun ke pada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap-Nya.
e. Hidayah at-Taufiqi
Di samping agama sebagai hidayah
Allah Swt., masih ada hidayah Allah yang lain, yaitu hidayah taufiq atau
hidayah al-Maunah. Hidayah kategori ini diposisikan pada tempat ke lima atau
yang terakhir dalam sederetan hidayah yang diberikan oleh Allah Swt., kepada
manusia. Hidayah taufiq ini semata-mata berada dalam tangan Allah Swt., tidak
ada seorangpun yang dapat memberikannya kepada manusia lain. Dalam sejarah
dikisahkan bahwa ternyata Rasulullah Saw., sekalipun tak mampu memberikan
hidayah kepada pamannya Abu Thalib, walaupun Abu Thalib telah berusaha dibujuk
oleh beliau akan tetapi kenyataan berbicara lain. Abu Thalib meninggal dunia
dalam keadaan tidak beriman, padahal Rasul sangat mencintai dan menyayangi
beliau. Malah bujukan beliau itu, oleh Allah Swt., dianggap sebagai suatu hal
yang salah. Allah Swt., menegur Rasulullah Saw., dengan firman-Nya pada surat
al-Qashash (28), 56.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk”.
Hidayah yang kita peroleh
sekarang ini, dulu dan akan datang adalah merupakan hak preoregatif dari Allah,
tak seorangpun di dunia ini yang mampu memberikannya kepada orang lain, tak
terkecuali Rasulullah Saw., sebagaimana yang tersirat dalam ayat tersebut di
atas.
3. Fungsi Hidayah Dalam Islam
Hidayah dalam pandangan
Islam adalah sesuatu yang keberadaannya sangat menentukan masa depan seseorang.
Manusia yang tidak mendapatkan hidayah dari Allah Swt., tidak hanya akan
mengalami kesengsaraan duniawi akan tetapi derita nan abadi sudah pasti menanti
pada kehidupan akhirat. Hidayah yang diberikan oleh Allah kepada manusia
terbagi ke dalam dua bahagian besar, yaitu
1. Hidayah yang merupakan bawaan sejak lahir
Hidayah bawaan ini merupakan
pemberian dan karunia Allah Swt., kepada manusia dengan tidak melalui usaha
lebih dahulu untuk mendapatkannya. Hidayah bawaan ini terkadang dimiliki pula
oleh makhluk selain manusia, misalnya hewan dengan manusia masing-masing
mempunyai rasa, indra dan lain sebagainya.
Adapun hidayah Allah Swt.,
yang merupakan hidayah bawaan sejak lahir adalah yang berupa hidayah al-Ilhami.
Hidayah semacam ini serupa degan pemberian suara hati (gerak hati) kepada
setiap orang. Suara hati ini selalu menuntun manusia kearah yang benar. Bisikan
hati ini selamanya benar dan tidak pernah bohong serta tidak pernah sepakat
terhadap pelanggaran dan ketidak adilan yang dilakukan oleh manusia. Akan
tetapi, karena desakan dari luar diri manusia itulah yang selalu melahirkan
pengingkaran terhadap kata dan bisikan hati.
Hati yang suci sangat peka
dan mudah menerima kebenaran, walau kebenaran itu datang dari orang yang
menurut penilaian kita tidak pantas untuk menyuarakannya. Manusia dengan hidayah
Allah Swt., berupa hati yang suci mampu menembus hal-hal yang sifatnya
metafisika dan di luar jangkauan mata jasadiah kita. Walaupun semua orang
mempunyai hati, akan tetapi tidak semua orang memiliki hati yang suci dan peka.
Hal ini terjadi dan tergantung pada pemeliharaan diri dari hal-hal yang bisa
menyebabkan hati menjadi kotor. Hati yang kotor dapat menyebabkan hati menjadi
mati, dan dari hati yang mati inilah yang akan menjadi santapan neraka. Ancaman
Allah ini dapat dilihat pada surat al-A’raf (7); 179.
Kesucian hati menjadi
jembatan dan penyebab hati menjadi peka dan mudah menerima kebanaran. Oleh
karena itu pemeliharaan hati (kata hati) agar tetap menjadi suci dan bersih
telah diatur dalam Islam, dengan menjauhkan diri dari dosa lahir maupun dosa
batin.
Lain halnya dengan hidayah
Allah berupa panca indra. Panca indra ini merupakan penyempurna kejadian
manusia. Hidayah Allah yang berupa indra ini merupakan pasilitas dasar bagi
manusia di dalam menyampaikan hasratnya terhadap sesuatu yang menjadi obyek
penelitiannya. Mata misalnya, di dalam meneliti sesuatu masalah akan segera
melaporkan kepada otak tentang segala apa yang dilihatnya. Telinga tentang apa
yang didengarnya, alat pencium tentang apa yang telah diciumnya, indra perasa
tentang apa yang telah dirabanya.
Kekayaan manusia yang
sifatnya inmateri ini perlu dipelihara dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang
positif, ke arah yang diridhai Allah Swt., karena seluruh fasilitas yang kita
nikmati di dalam kehidupan ini adalah merupakan karunia Allah yang akan
dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat nanti. Mensyukuri pemberian Allah
Swt., berupa kelengkapan indra ini merupakan kewajiban, sebagaimana wajibnya
kita mensyukuri nikmat Allah yang lain. Seperti yang telah ditegaskan oleh
Allah Swt., dalam firman-Nya dalam surat Ibrahim (14); 7.
“Dan ingatlah juga, tatkala
Tuhanmu memaklumkan, “ sesungguuhnyajika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambahkan (nikmat) kepadamum dan jika kamu mengingkarinya, nikmat-Ku, maka
sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.
Mensyukuri ikmat Allah berupa panca indra ini
dilakukan dengan jalan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk mengabdi kepada
Allah sebagai upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Akal sebagai hidayah yang
menjadi kebanggaan manusia, dan dibanggakan oleh Allah Swt., Hal ini pernah
diutarakan oleh Allah di tengah-tengah unjuk rasa para malaikat yang menuntut
penjelasan Allah atas kebijakan-Nya untuk menciptakan manusia di muka bumi. Ini
dapat dibaca pada surat al-Baqrah (2); 33.
“Allah berfirman, Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman ; Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamun lahirkan dan
apa yang kamu sembunyikan”.
Akal yang merupakan barometer pembeda antara
manusia dengan segala apa yang telah diciptakan oleh Allah di alam raya ini,
karena manusia mampu mengembangkan manusia (dirinya) dan kemanusiaan. Manusia
adalah makhluk berbudaya, yang mampu dan cakap sebagai pengemban amanah dari
Allah Swt., sebagai penjaga, pemelihara dan pemakmur bumi ini.
Hidayah Allah berupa akal
ini akan berjalan sesuai dengan kehendak penciptanya apabila dipupuk dan dibina
di atas nilai-nilai iman yang mengkristal di dalam dada setiap insan. Keputusan
untuk membina aqal melalui didikan agama merupakan kemutlakan dan keputusan
yang bijak, agar akal tidak melanglang buana mengumpulkan ilmu-ilmu sekuler
yang tidak hanya akan menghancurkan diri sendiri akan tetapi akan menghancurkan
manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan. Akal memang memang merupakan
pasilitas yang paling istimewa yang ada pada setiap insan, akan tetapi akal
bukan di atas segalanya.
2. Hidayah yang merupakan pengaruh dari luar diri manusia
Walaupun manusia terlahir
dengan fitrah, namun manusia tidak kuasa menghindar dan menafikan kenyataan
bahwa lingkungan banyak membawa warna bagi kehidupan manusia. Dari sini manusia
dituntut untuk menjatuhkan pilihan apakah kita ingin bahagia di dunia dan di
akhirat atau tidak. Kebahagiaan manusia tergantung pada pilihan yang
diambilnya, apakah dia tetap berada dalam fitrah (beragama) atau justru menjadi
hamba dunia dan pelanggeng kesesatan.
Agama sebagai hidayah yang
diturunkan oleh Allah Swt., untuk mengatur tatanan hidup dan kehidupan manusia,
baik yang berhubungan dengan Khaliknya maupun yang berhubungan dengan manusia
lain dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial. Manusia dengan petunjuk agama
mampu menata dan menentukan masa depannya, oleh karena agama merupakan produk
dari zat yang maha kuasa, Sang penentu segalanya.
Secara fitrawi, agama memang
merupakan kebutuhan setiap manusia, akan tetapi banyak manusia yang menyalahi
fitrah beragama yang melekat pada dirinya, yang membawanya jauh dari nikamatnya
hidup beragama. Keengganan manusia untuk mengecap indah dan nikmatnya hidup
beragama antara lain dipicu oleh warna wasyarakat dimana seseorang hidup
berkelompok. Andai dalam sebuah masyarakat tumbuh iklim beragama secara subur,
maka kenikmatan hidup beragama akan mempesona kepada seluruh masyarakat yang
ada di dalamnya. Sebaliknya, apabila sebuah masyarakat gersang dan kering dari
nilai-nilai agama, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang hampa dan
jauh dari nur ilahi yang membahagiakan.
Hidayah taufiq inilah yang
menjadi penentu dari sederetan usaha manusia dalam menjatuhkan dan menentukan
pilihan, agama mana yang menjadi pilihan hatinya dan menjadi wujud
keyakinannya. Hidayah taufiq ini kepunyaan Allah semata dan akan diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki. Betapa dalam referensi ke-Islam-an, kita
jumpai kenyataan bahwa hidayah taufiq ini merupakan hak mutlak Allah, misalnya
Ibrahin As., tiada kuasa menggait ayah kandungnya dalam menggapai hidayah,
serta nabi Nuh As., tiada berdaya merubah keyakinan istri dan anaknya tercinta
ke dalam naungan hidayah taufiq ini.
Dalam kenyataannya, manusia
sendirilah yang cenderung mengabaikan dan tidak memelihara amanah yang telah
dimilikinya serta tidak memelihara tubuh dan jiwanya, sesuai dengan petunjuk
Allah. Jiwanya diisi dengan pikiran dan perasaan yang mendorong jasmaninya
mengerjakan sesuatu yang melanggar perintah Allah. Kebanyakan manusia tidak
menyadari bahwa semua anggota tubuh (hidayah), termasuk otak yang memiliki
kemampuan berfikir dan hati nuraninya yang merasakan, diciptakannya sebagai
nikmat dan amanah yang harus disyukuri keberadaannya. Karena itu, jika
digunakan untuk berbuat dosa dan maksiat, bukan hanya tidak mampu
mensyukurinya, tetapi malah membawa jiwa dan raganya ke dalam situasi yang
membahayakan dirinya sendiri.
Manusia berkewajiban menjaga dan memelihara
serta mengambil faedah yang sebesar-besarnya dari nikmat Allah berupa hidayah
ini. Tubuh dengan kelengkapannya, harus diupayakan untuk menguasai berbagai
keterampilan dan keahlian, agar dapat mengemban amanah kekhalifahan dalam
rangka kemakmuran bumi ini.
Keterampilan dan keahlian
sangat diperlukan di abad modern, tidak hanya supaya manusia itu produktif,
tetapi juga supaya manusia mampu mempertahankan kehidupannya secara layak dan
manusiawi (Nawawi; 193; 401). Sejalan dengan itu manusia dituntut dan
berkewajiban mengisi perkembangan jiwanya dengan akhlak yang terpuji sesuai
dengan nilai-nilai yang diridhai oleh Allah.
Demikian fungsi hidayah
dalam Islam, dengan pemanfaatan segala potensi yang dimiliki manusia sebagai
hidayah dari Allah Swt., maka manusia diharapkan mampu mencapai ridha dari
Allah Swt., yang senang dan disenangi serta menjadi insan-insan syakur.
Kemampuan mensyukuri kondisi penciptaan itu, dapat menghindarkan manusia dari
penyimpangan berfikir, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari,
dalam berhadapan dengan manusia lainnya, diri sendiri dan dengan penciptanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1.
Manusia dalam mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi, senantiasa
dipantau dan dikontrol oleh Allah Swt.
2.
Para ulama dan ahli agama membagi hidayah Allah ke dalam empat macam dengan
tahapan yang bertingkat. Pertama adalah naluri, Kedua pancaindra, Ketiga akal
dan yang Keempat adalah agama.
3.
Hidayah dalam Islam berfungsi untuk menjadikan manusia mampu mencapai ridha
dari Allah Swt., yang senang dan disenangi serta menjadi insan-insan syakur.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang, Toha Putra, 1989.
H. Endang
Saefuddin Anshari, Kuliah Al-Islam,
Jakarta, CV. Rajawali, t. th.
H.M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Amanah, Jakarta :
Pustaka Kartini, 1992.
Muhaimain
dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan
Islam, Bandung, PT. Trigedi, 1993.
No comments:
Post a Comment