Psikologi Agama
“Ciri-ciri Orang Yang Matang Beragama”
DOSEN
PENGAMPU : Drs. Dulhadi, M. Pd
DI
SUSUN
O
L
E
H
Susantai :
1113211446
M.Suhaimi : 1113211550
SEMESTER : VI
FAKULTAS : USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN: BIMBINGAN KONSELING
ISLAM (BKI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama
yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam
bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Kematangan
beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta
mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan
sehari-hari.
Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangan jasmani dan
rohani. Puncak perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis,
perkembangan jasmani yang dicapai
manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan
(abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani
disebut istilah kematangan (maturity).
Sebaliknya, dalam kehidupan tidak jarang dijumpai mereka yang taat
beragama itu dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman agama serta tipe
kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama
mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian, pengaruh tersebut
secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan
masing-masing.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah
sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai
berikut :
1. Ciri dan Sikap keberagamaan?
2. Bagaimanakah pengertian dari Mistisisme Dan
Psikologi Agama?
C.
Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di
atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui Ciri-ciri Orang Yang Matang Beragama
2. Mengetahui pengertian dari Mistisisme Dan
Psikologi Agama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ciri-ciri
Orang Yang Matang Beragama Islam
"Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,
dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang men- jaga
kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dan orang-orang yang memeli- hara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
dan orang-orang yang memelihara shalat. Mereka itulah orang-orang yang akan
mewarisi." (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
Ilmu
jiwa agama adalah suatu bidang disiplin ilmu yang berusaha mengeksplorasi
perasaan dan pengalaman dalam kehidupan seseorang. Penelitian itu didasarkan
atas dua hal yaitu sejauh mana kesadaran beragama (religious counsciousness)
dan pengalaman beragama (religious experience). Apabila standar itu kita coba
terapkan pada seseorang yang secara spesifik beragama Islam, maka akan kita lihat
beberapa standar diantaranya Al-Qur'an dan As-Sunnah dan penjelasan para ulama.
a.
Al-Qur’an
Kriteria yang diberikan oleh
Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang yang matang beragama Islam cukup
bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama pada Surah Al-Mu'minun dan bagian
akhir dari Surah Al-Furqan.
1.
Mereka yang khusyu'
shalatnya
2. Menjauhkan
diri dari (perbuatan-perbuatan) tiada berguna
3. Menunaikan
zakat
4. Menjaga
kemaluannya kecuali kepada isteri-isteri yang sah
5. Jauh
dari perbuatan melampaui batas (zina, homoseksual, dan lain-lain)
6. Memelihara
amanat dan janji yang dipikulnya
7. Memelihara
shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
8. Merendahkan
diri dan bertawadlu'
9. Menghidupkan
malamnya dengan bersujud (Qiyamullail)
10. Selalu
takut dan meminta ampunan agar terjauh dari jahanam
11. Membelanjakan
hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula kikir
12.
Tidak menyekutukan
allah, tidak membunuh, tidak berzina
Suka bertaubat, tidak memberi
persaksian palsu dan jauh dari perbuatan sia-sia, memperhatikan Al-Qur'an,
bersabar, dan mengharap keturunan yang bertaqwa (QS. Al-Furqan : 63 - 67)
b.
As-sunnah
Rasulullah SAW
memberikan batas minimal bagi seorang yang disebut muslim yaitu disebut muslim
itu apabila muslim-muslim lain merasa aman dari lidah dan tangannya (HR.
Muslim). Sementara ciri-ciri lain disebutkan cukup banyak bagi orang yang
meningkatkan kualitas keimanannya. Sehingga tidak jarang Nabi SAW menganjurkan
dengan cara peringatan, seperti : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya hendaknya dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya
sendiri" (HR. Bukhari). "Tidak beriman seseorang sampai tetangganya
merasa aman dari gangguannya" (HR. Bukhari dan Muslim). "Tidak
beriman seseorang kepada Allah sehingga dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya
dari pada kecintaan lainnya..." (HR. Muslim). Dengan demikian petunjuk-petunjuk
itu mengarahkan kepada seseorang yang beragama Islam agar dia menjaga lidah dan
tangannya sehingga tidak mengganggu orang lain, demikian juga dia menghormati
tetangganya, saudara sesama muslim dan sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Ringkas kata, dia berpedoman kepada
petunjuk Al-Qur'an dan mengikuti contoh praktek Rasulullah SAW, sehingga dia
betul-betul menjaga hubungan "hablum minallah" (hubungan vertikal)
dan "hablum minannaas" (hubungan horizontal).
Peringatan shahabat Ali r.a. bahwa
klimaks orang ciri keagamaannya matang adalah apabila orang tersebut bertaqwa
kepada Allah SWT. Dan inti taqwa itu ada empat, menurut Ali r.a. Mengamalkan
isi Al-Qur'an Mempunyai rasa takut kepada Allah sehingga berbuat sesuai dengan
perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya Merasa puas dengan pemberian atau
karunia Allah SWT meskipun terasa sedikit Persiapan untuk menjelang kematian
dengan meningkatkan kualitas keimanan dan amal shaleh.
Sedangkan Ibnul Qoyyim, ulama abad
ke 7, menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang beragama Islamnya. Dia
terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar selalu
bertambah kualitasnya Dia terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya
kebesaran dan keagungan Allah serta segala yang dijanjikan di akherat kelak, sehingga
dia menyibukkan diri untuk meraihnya Dia terbina pemikirannya sehingga akalnya
diarahkan untuk memikirkan ayat-ayat Allah Al-Kauniyah (cipataan-Nya) dan
Al-Qur'aniyah (firman-Nya).
Dia terbina perasaannya sehingga
segala ungkapan perasaan ditujukan kepada allah, senang atau benci, marah atau
rela, semuanya karena Allah.
Dia terbina akhlaknya dimana
kepribadiannya di bangun diatas pondasi akhlak mulia sehingga kalau berbicara
dia jujur, bermuka manis, menyantuni yang tidak mampu, tidak menyakiti orang
lain dan berbagai akhlak mulia
Dia terbina kemasyarakatannya
karena menyadari sebagai makhluk sosial, dia harus memperhatikan lingkungannya
sehingga dia berperan aktif mensejahterakan masyarakat baik intelektualitasnya,
ekonominya, kegotang-royongannya, dan lain-lain. Dia terbina keamuannya
sehingga tidak mengumbar kemauannya ke arah yang distruktif tetapi justru
diarahkan sesuai dengan kehendak Allah. Kemauan yang mendorongnya selalu
beramal shaleh Dia terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak
badan untuk ketaatan kepada Allah karena Rasulullah SAW bersabda : "Orang
mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai Allah daripada mukmin yang
lemah" (HR. Ahmad)
Dia terbina nafsu seksualnya yaitu
diarahkan kepada perkawinan yang dihalalkan Allah SWT sehingga dapat
menghasilkan keturunan yang shaleh dan bermanfaat bagi agama dan negara.
Demikian secara ringkas kami paparkan kriteria ideal untuk mengetahui dan
mengukur sejauh mana kematangan beragama Islam seseorang. Sengaja kami batasi
agama Islam karena pembahasan ciri-ciri beragama secara umum terlalu luas. Dan
perlu kita ingat dalam kondisi masyarakat yang komplek dengan problematika
kehidupannya, maka sungguh orang yang beragamalah yang akan terhindar dari
penyakit stress, kata Robert Bowley.
2. PENGERTIAN MISTISISME
Kata
mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata”. Kata
mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hala yang berkaitan
denganpengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan
sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan,
cahaya, cinta atau nihil.
Mistisisme
dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para orientalis Barat disebut
dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai dalam
mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam agama-agama lain.
Tasawuf
atau mistisisme—sebagaimana dengan mistisisme di luar agama Islam—mempunyai
tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.1
Menurut
Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya
sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Tujuan
dari mistisisme adalah memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan,
sehingga disadari benar bahwa seseorang barada dihadirat Tuhan.2
Cirri
khas mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi adalah kenyataan
bahwa pengalaman-pengalaman mistik, atau perubahan-perubahan kesadaran yang
mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan
(wihdah, dalam istilah tasawuf Islam). 3
v KARAKTERISTIK
MISTISISME
William James, menjelaskan tentang
kondisi mistisisme. Menurutnya, kondisi tersebut ditandai dengan empat
karakteristik:4
Ia merupakan sustu kondisi yang
mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan
perasaan (stste of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail
kata seteliti apa pun.
Ia merupakan merupakan suatu
kondisi pemahaman (neotic), sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi
pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya
merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif. Ia merupakan suatu kondisi
yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama
pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat
dalam ingatan.
Ia
merupakan kondisi pasif (passivity).
Sedangkan menurut Al-Taftazani
mengungkap lima karakteristik, di mana karakteristik tersebut memiliki
cirri-ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Karakteristik
tersebut adalah:5
a. Peningkatan moral. Setiap
tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya
untuk membersihkan jiwa, untuk merealisasikan nilai-nilai itu.
b.
Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana yaitu, bahwa
dengan latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau
mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu. Di mana dia sudah tidak lagi
merasakan adanya diri ataupun kekuatannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam
realitas tertinggi.
c. Pengetahuan intuitif langsung,
yaitu metode pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan
penalaran intelektual, yang disebut dengan kasfy atau intuisi, maka dalam
kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus.
d. Ketentraman atau kebahagiaan.
Seorang sufi atau mistikus akan tebebas dari semua rasa takut dan merasa intens
dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
e. Penggunaan symbol dalam
ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan symbol ialah bahwa
ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi atau mistikus itu biasanya mengandung
dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua,
pengertian yang ditimba dari analisis serta pendalaman. Tasawuf atau mistisisme
adalah kondisi-kondisi yang khusus, mustahil dapat diungkapkan dengan
kata-kata. Dan ia pun bukan kondisi yang sama pada semua orang.
v SUFISME DALAM KAJIAN
PSIKOLOGI AGAMA
Aspek-aspek psikis dalam mistisisme
telah banyak dikaji oleh para ahli ilmu jiwa agama. Seperti William James,
James Leuba, Roger Bastide, evelyn Underhill dan Robert Thouless. Nama yang
terakhir ini, misalnya, membahas mistisisme dengan mengawalinya pada arti
penting mistisisme bagi psikologi agama, yaitu sebagai rangsangan kreatif dalam
pemikiran keagamaan.
Kontemplasi merupakan bagian dari
kehidupan para mistikus. Terdapat dua tipe kontemplasi yaitu, pertama, sebagai
system latihan mental seperti meditasi; kedua, sebagai system aturan perilaku
yang disebut asketik. Dalam tipe kedua—sebagai system aturan perilaku—mempunyai
cirri sebagai penolakan untuk melakukan tindakan-tindakan instingtif atau adat
istiadat dan pembiasaan melakukan perbuatan-perbuatan menyakitkan.
Latihan-latihan mental para
mistikus diarahkan pada pengekangan-pengekangan perilaku. Mereka dilatih
berpikir tentang tentang keterkaitan antara makanan dan minuman dengan akibat
yang tidak menyenangkan dan tranformasinya dalam tubuh, sehingga mereka tidak
lagi memilki keinginan untuk makan dan minum.
Pada tahap berikutnya adalah sampai
pada tingkat bersau (kemanunggalan) yang biasanya terungkap lewat syair-syair
atau doa mistik. Dalam hal ini Santa Teresa melukiskan empat tahap doa mistik,
yaitu doa ketenangan, doa penyatuan, ekstasi, dan perkawinan spiritual. Mengenai
hubungan antara mistisisme dengan gangguan mental itu dikemukakan oleh para
tokoh mistik yang menunujukan bukti hysteria dan bukti tanda-tanda penyakit
yang dikaitkan dengan sugestibilitas tingkat tinggi. Para tokoh mistik dalam
upaya menyucikan diri membersihkan jiwa dari keterikatan akan kenikmatan dunia
adalah dengan mengasingkan diri (‘uzlah) dan kontemplasi. Sikap demikian juga
dialami oleh penderita ganguan jiwa. Di mana dalam kondisi jiwa yang tertekan,
Ia mengambil sikap menarik diri dari lingkungan atau kehidupan special.
Perasaan sebagaimana tersebut di atas yang kemudian memunculkan anggapan, bahwa
penderita ganguan jiwa dan perilaku tokoh-tokoh mistik yang mempunyai kesamaan.
Pada bagian lain,
teradap empat aspek yang dapat dikatagorikan dalam mistisisme yaiu ilmu ghaib,
ilmu kebathinan, magis, dan parapsikologi. Aspek yang disebut terakhir,
misalnya, membahas gejal-gejal jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera,
serta perubahan yang bersifat fisik yang digerakan oleh jiwa tanpa menggunakan
kekuatan yang terkait dengan tubuh manusia.
Gejala-gejala jiwa paranormal ini
dimiliki seseorang berdasarkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, tanpa
dipelajari sehingga memiliki kemampuan melebihi gejala jiwa yang normal
seperti:
1) Kemampuan mengetahui Sesutu
peristiwa yang belum terjadi, telepati, ramalan, meilihat sesuatu tanpa
menggunakan mata dan sebagainya.
2)
Kemampuan melakukan pebuatan tanpa menggunkan kekuatan yang terdapat
dalam fisik, pengobatan, stigmasi dan sebagainya.
Kemampuan
tersebut menjadi wajar bila dimiliki oleh para pelaku sufi yang telah mencapai
derajat tinggi, khususnya sampai pada tahap makrifat, sebab salah satu dari
aspek makrifat adalah pencapaian hal-hal yang gaib dari Allah. Orang yang telah
mencapai makrifat maka akan tersingkap tabir yang menghalanginya dengan Allah,
ia akan menemukan banyak hal tentang rahasia-rahasia alam yang merupakan ilmu
Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Ciri
dan sifat keberagamaan dibagi menjadi dua tipe, yaitu : tipe orang yang sakit
jiwa, dan tipe orang yang sehat jiwa. Ilmu pengetahuan, teknologi dan agama
adalah kekuatan-kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan manusia.
Keduanya berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan dan memberikan kesejahteraan bagi umat
manusia
Sedangkan,
yang dimaksud dengan moral sendiri adalah kelakuan yang sesuai dengan
ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan
dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut.