Friday, 21 November 2014

Psikologi Agama " Ciri-ciri orng yang matang beragama"




Psikologi Agama
“Ciri-ciri Orang Yang Matang Beragama”
DOSEN PENGAMPU :  Drs. Dulhadi, M. Pd


DI SUSUN

O
L
E
H

Susantai : 1113211446
M.Suhaimi : 1113211550

SEMESTER : VI
FAKULTAS  : USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN: BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
 




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemampuan seseorang  untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia mengalami dua macam  perkembangan, yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Puncak perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis, perkembangan  jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan  rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).
      Sebaliknya, dalam kehidupan tidak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman agama serta tipe kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian, pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Ciri dan Sikap keberagamaan?
2. Bagaimanakah pengertian dari Mistisisme Dan Psikologi Agama?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui Ciri-ciri Orang Yang Matang Beragama
2. Mengetahui pengertian dari Mistisisme Dan Psikologi Agama.
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Ciri-ciri Orang Yang Matang Beragama Islam
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang men- jaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memeli- hara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalat. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi." (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
Ilmu jiwa agama adalah suatu bidang disiplin ilmu yang berusaha mengeksplorasi perasaan dan pengalaman dalam kehidupan seseorang. Penelitian itu didasarkan atas dua hal yaitu sejauh mana kesadaran beragama (religious counsciousness) dan pengalaman beragama (religious experience). Apabila standar itu kita coba terapkan pada seseorang yang secara spesifik beragama Islam, maka akan kita lihat beberapa standar diantaranya Al-Qur'an dan As-Sunnah dan penjelasan para ulama.
a.       Al-Qur’an
Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang yang matang beragama Islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama pada Surah Al-Mu'minun dan bagian akhir dari Surah Al-Furqan.
1.      Mereka yang khusyu' shalatnya
2.      Menjauhkan diri dari (perbuatan-perbuatan) tiada berguna
3.      Menunaikan zakat
4.      Menjaga kemaluannya kecuali kepada isteri-isteri yang sah
5.      Jauh dari perbuatan melampaui batas (zina, homoseksual, dan lain-lain)
6.      Memelihara amanat dan janji yang dipikulnya
7.      Memelihara shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
8.      Merendahkan diri dan bertawadlu'
9.      Menghidupkan malamnya dengan bersujud (Qiyamullail)
10.  Selalu takut dan meminta ampunan agar terjauh dari jahanam
11.  Membelanjakan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula kikir
12.  Tidak menyekutukan allah, tidak membunuh, tidak berzina

Suka bertaubat, tidak memberi persaksian palsu dan jauh dari perbuatan sia-sia, memperhatikan Al-Qur'an, bersabar, dan mengharap keturunan yang bertaqwa (QS. Al-Furqan : 63 - 67)
b.      As-sunnah
Rasulullah SAW memberikan batas minimal bagi seorang yang disebut muslim yaitu disebut muslim itu apabila muslim-muslim lain merasa aman dari lidah dan tangannya (HR. Muslim). Sementara ciri-ciri lain disebutkan cukup banyak bagi orang yang meningkatkan kualitas keimanannya. Sehingga tidak jarang Nabi SAW menganjurkan dengan cara peringatan, seperti : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaknya dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri" (HR. Bukhari). "Tidak beriman seseorang sampai tetangganya merasa aman dari gangguannya" (HR. Bukhari dan Muslim). "Tidak beriman seseorang kepada Allah sehingga dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada kecintaan lainnya..." (HR. Muslim). Dengan demikian petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kepada seseorang yang beragama Islam agar dia menjaga lidah dan tangannya sehingga tidak mengganggu orang lain, demikian juga dia menghormati tetangganya, saudara sesama muslim dan sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.



Ringkas kata, dia berpedoman kepada petunjuk Al-Qur'an dan mengikuti contoh praktek Rasulullah SAW, sehingga dia betul-betul menjaga hubungan "hablum minallah" (hubungan vertikal) dan "hablum minannaas" (hubungan horizontal).
Peringatan shahabat Ali r.a. bahwa klimaks orang ciri keagamaannya matang adalah apabila orang tersebut bertaqwa kepada Allah SWT. Dan inti taqwa itu ada empat, menurut Ali r.a. Mengamalkan isi Al-Qur'an Mempunyai rasa takut kepada Allah sehingga berbuat sesuai dengan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya Merasa puas dengan pemberian atau karunia Allah SWT meskipun terasa sedikit Persiapan untuk menjelang kematian dengan meningkatkan kualitas keimanan dan amal shaleh.
Sedangkan Ibnul Qoyyim, ulama abad ke 7, menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang beragama Islamnya. Dia terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar selalu bertambah kualitasnya Dia terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya kebesaran dan keagungan Allah serta segala yang dijanjikan di akherat kelak, sehingga dia menyibukkan diri untuk meraihnya Dia terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan untuk memikirkan ayat-ayat Allah Al-Kauniyah (cipataan-Nya) dan Al-Qur'aniyah (firman-Nya).
Dia terbina perasaannya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan kepada allah, senang atau benci, marah atau rela, semuanya karena Allah.
Dia terbina akhlaknya dimana kepribadiannya di bangun diatas pondasi akhlak mulia sehingga kalau berbicara dia jujur, bermuka manis, menyantuni yang tidak mampu, tidak menyakiti orang lain dan berbagai akhlak mulia
Dia terbina kemasyarakatannya karena menyadari sebagai makhluk sosial, dia harus memperhatikan lingkungannya sehingga dia berperan aktif mensejahterakan masyarakat baik intelektualitasnya, ekonominya, kegotang-royongannya, dan lain-lain. Dia terbina keamuannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke arah yang distruktif tetapi justru diarahkan sesuai dengan kehendak Allah. Kemauan yang mendorongnya selalu beramal shaleh Dia terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak badan untuk ketaatan kepada Allah karena Rasulullah SAW bersabda : "Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai Allah daripada mukmin yang lemah" (HR. Ahmad)
Dia terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkan kepada perkawinan yang dihalalkan Allah SWT sehingga dapat menghasilkan keturunan yang shaleh dan bermanfaat bagi agama dan negara. Demikian secara ringkas kami paparkan kriteria ideal untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana kematangan beragama Islam seseorang. Sengaja kami batasi agama Islam karena pembahasan ciri-ciri beragama secara umum terlalu luas. Dan perlu kita ingat dalam kondisi masyarakat yang komplek dengan problematika kehidupannya, maka sungguh orang yang beragamalah yang akan terhindar dari penyakit stress, kata Robert Bowley.

2.   PENGERTIAN MISTISISME
Kata mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata”. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hala yang berkaitan denganpengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.
Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam agama-agama lain.
Tasawuf atau mistisisme—sebagaimana dengan mistisisme di luar agama Islam—mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.1
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Tujuan dari mistisisme adalah memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang barada dihadirat Tuhan.2
Cirri khas mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik, atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan (wihdah, dalam istilah tasawuf Islam). 3
v  KARAKTERISTIK MISTISISME
William James, menjelaskan tentang kondisi mistisisme. Menurutnya, kondisi tersebut ditandai dengan empat karakteristik:4
Ia merupakan sustu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (stste of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun.
Ia merupakan merupakan suatu kondisi pemahaman (neotic), sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif. Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan.
Ia merupakan kondisi pasif (passivity).
Sedangkan menurut Al-Taftazani mengungkap lima karakteristik, di mana karakteristik tersebut memiliki cirri-ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Karakteristik tersebut adalah:5
a. Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk merealisasikan nilai-nilai itu.
b. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana yaitu, bahwa dengan latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu. Di mana dia sudah tidak lagi merasakan adanya diri ataupun kekuatannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas tertinggi.
c. Pengetahuan intuitif langsung, yaitu metode pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasfy atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus.
d. Ketentraman atau kebahagiaan. Seorang sufi atau mistikus akan tebebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
e. Penggunaan symbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan symbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisis serta pendalaman. Tasawuf atau mistisisme adalah kondisi-kondisi yang khusus, mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan kondisi yang sama pada semua orang.
v  SUFISME DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA
Aspek-aspek psikis dalam mistisisme telah banyak dikaji oleh para ahli ilmu jiwa agama. Seperti William James, James Leuba, Roger Bastide, evelyn Underhill dan Robert Thouless. Nama yang terakhir ini, misalnya, membahas mistisisme dengan mengawalinya pada arti penting mistisisme bagi psikologi agama, yaitu sebagai rangsangan kreatif dalam pemikiran keagamaan.
Kontemplasi merupakan bagian dari kehidupan para mistikus. Terdapat dua tipe kontemplasi yaitu, pertama, sebagai system latihan mental seperti meditasi; kedua, sebagai system aturan perilaku yang disebut asketik. Dalam tipe kedua—sebagai system aturan perilaku—mempunyai cirri sebagai penolakan untuk melakukan tindakan-tindakan instingtif atau adat istiadat dan pembiasaan melakukan perbuatan-perbuatan menyakitkan.
Latihan-latihan mental para mistikus diarahkan pada pengekangan-pengekangan perilaku. Mereka dilatih berpikir tentang tentang keterkaitan antara makanan dan minuman dengan akibat yang tidak menyenangkan dan tranformasinya dalam tubuh, sehingga mereka tidak lagi memilki keinginan untuk makan dan minum.
Pada tahap berikutnya adalah sampai pada tingkat bersau (kemanunggalan) yang biasanya terungkap lewat syair-syair atau doa mistik. Dalam hal ini Santa Teresa melukiskan empat tahap doa mistik, yaitu doa ketenangan, doa penyatuan, ekstasi, dan perkawinan spiritual. Mengenai hubungan antara mistisisme dengan gangguan mental itu dikemukakan oleh para tokoh mistik yang menunujukan bukti hysteria dan bukti tanda-tanda penyakit yang dikaitkan dengan sugestibilitas tingkat tinggi. Para tokoh mistik dalam upaya menyucikan diri membersihkan jiwa dari keterikatan akan kenikmatan dunia adalah dengan mengasingkan diri (‘uzlah) dan kontemplasi. Sikap demikian juga dialami oleh penderita ganguan jiwa. Di mana dalam kondisi jiwa yang tertekan, Ia mengambil sikap menarik diri dari lingkungan atau kehidupan special. Perasaan sebagaimana tersebut di atas yang kemudian memunculkan anggapan, bahwa penderita ganguan jiwa dan perilaku tokoh-tokoh mistik yang mempunyai kesamaan.
Pada bagian lain, teradap empat aspek yang dapat dikatagorikan dalam mistisisme yaiu ilmu ghaib, ilmu kebathinan, magis, dan parapsikologi. Aspek yang disebut terakhir, misalnya, membahas gejal-gejal jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera, serta perubahan yang bersifat fisik yang digerakan oleh jiwa tanpa menggunakan kekuatan yang terkait dengan tubuh manusia.
Gejala-gejala jiwa paranormal ini dimiliki seseorang berdasarkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, tanpa dipelajari sehingga memiliki kemampuan melebihi gejala jiwa yang normal seperti:
1) Kemampuan mengetahui Sesutu peristiwa yang belum terjadi, telepati, ramalan, meilihat sesuatu tanpa menggunakan mata dan sebagainya.
2)   Kemampuan melakukan pebuatan tanpa menggunkan kekuatan yang terdapat dalam fisik, pengobatan, stigmasi dan sebagainya.
Kemampuan tersebut menjadi wajar bila dimiliki oleh para pelaku sufi yang telah mencapai derajat tinggi, khususnya sampai pada tahap makrifat, sebab salah satu dari aspek makrifat adalah pencapaian hal-hal yang gaib dari Allah. Orang yang telah mencapai makrifat maka akan tersingkap tabir yang menghalanginya dengan Allah, ia akan menemukan banyak hal tentang rahasia-rahasia alam yang merupakan ilmu Allah.
BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan.
Ciri dan sifat keberagamaan dibagi menjadi dua tipe, yaitu : tipe orang yang sakit jiwa, dan tipe orang yang sehat jiwa. Ilmu pengetahuan, teknologi dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan  dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia
Sedangkan, yang dimaksud dengan moral sendiri adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut.





































FILSAFAT DAKWAH "HIDAYAH"






Filsafat Dakwah
HIDAYAH
DOSEN PENGAMPU :  Bambang, S.R. M. Ag


DI SUSUN

O
L
E
H

Abdul Manaf : 11133210014
M. Suhaimi : 1113211550

SEMESTER : III
FAKULTAS  : USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN: BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2014
  



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Taufik Hidayah serta Inayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah FILSAFAT DAKWAH, Dengan judul “HIDAYAH”
Shalawat beriring salam Penulis kirimkan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing dan menuntun umatnya dari alam kegelapan yang penuh dengan kejahiliaan mengarah ke alam kejayaan dan kemajuan yang penuh dengan pengetahuan.
Tidak lupa kami hanturkan terima kasih kami kepada Bapak Dosen pembimbing, yaitu Bapak BAMBANG,S.R, yang mana telah memberikan motivasi kepada kami, baik secara fisik maupun rohani dalam perkuliahan di kampus IAIN Pontianak ini.
Semoga penulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita, amin.




Pontianak, November 2014


Penulis



















BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sejak awal kehadirannya, Islam telah memperkenalkan hakekakat manusia sebagaimana yang tercermin dalam konsep Fitrah-nya. Namun sampai kini masih tersisa pertanyaan dikalangan kita, apa hakikat fitrah itu sebenarnya. Para ahli telah membahas pengertian fitrah ini dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dari perbedaan pandangan dan pendekatan dicoba ditelusuri makna fitrah yang sesungguhnya. Perbedaan pandangan yang ada itu, ternyata masing-masing berdiri dan berpijak pada argumen yang kuat, sehingga berbagai argumen defenitif itu mengarah pada pengertian yang sama.
Terdapat berbagai argumen yang lahir dari penafsiran ayat tersebut, antara lain :
a. Fitrah berarti suci (Thuhr)
b. Fitrah berarti Islam (dienul Islam)
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah (at-Tauhid).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana diurai di atas maka penulis menyusun rumusan masalah yakni sebagai berikut :
1. Pengertian Hidayah?
2. Pembagian Hidayah Dalam Islam?
3. Fungsi Hidayah Dalam Islam?
C. Batasan Masalah
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas maka perumusan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memahami Pengertian Hidayah
2. Memahami  Hidayah Dalam Islam
3. Memahami Fungsi Hidayah Dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hidayah
Hidayah sebagai modal dasar serorang hamba dalam meraih dan mendapatkan kebahagiaan akhirat, maupun kebahagiaan dunia, menjadi dambaan setiap orang. Namun karena pengaruh dari luar diri manusia yang kadang menjadi kendala dan penghadang bagi seseorang untuk meraih dan mendapatkan hidayah. Berikut dikemukakan pengertian hidayah yang telah dikemukakan oleh para agamawan :
Kata hidayah berasal dari kata hadaa yang berarti menunjukkan atau memberi petunjuk Anshari (t. th, 103). Lain halnya dengan Quraish (1992; 55), bahwa hidayah berasal dari akar kata hadaa yang berarti memberi petunjuk (atau) suatu yang mengantar kepada apa yang diharapkan, yang disampaikan kepada manusia secara halus dan lemah lembut. Demikian juga dengan at-Thaba-Thaba’iy (t. th; 37), bahwa hidayah adalah menunjukkan atau memperlihatkan tujuan akhir dengan cara menunjukkan jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Hidayah merupakan petunjuk yang halus yang dapat membawa manusia kepada tercapainya sesuatu yang diinginkan, Abduh (t. th; 62).

2. Pembagian Hidayah Dalam Islam
Dalam posisinya sebagai makhluk termulia dan khalifah di muka bumi, maka manusia senantiasa dikontrol oleh Allah Swt., sebagai penentu pertikal. Hal ini dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan penciptaan manusia di muka bumi. Hidayah Allah kepada manusia memiliki posisi yang sangat menentukan dalam rangka merebut posisi yang layak bagi manusia dalam pandangan manusia di dalam masyarakat dan bahkan dalam pandangan Allah Swt.
Mufassir besar Syaikh Ahmad Mustafa al-Maraghi membagi hidayah dalam kitab tafsirnya menjadi lima macam, sebagaimana yang dihimpun oleh Quraish (1992; 55), bahwa para agamawan membagi hidayah Allah ke dalam empat macam dengan tahapan yang bertingkat. Tahap pertama adalah naluri disusul dengan pancaindra, kemudian akal dan yang terakhir adalah agama.
a.Hidayah al-Ilhami (instink, naluri)
Dalam analisa Anshari (t. th; 104), Hidayah semacam ini tidak hanya diberikan kepada manusia akan tetapi juga kepada hewan sekalipun. Hidayah al-Ilham ini berarti denyut hati (gerak hati, inplus) yang ada pada manusia dan hewan, hidayah jenis ini merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu, dorongan dimaksud tidak berdasar pada suatu fikiran, dorongan yang hanya berupa dorongan animal, yang tidak berdasarkan pada pikiran panjang oleh manusia. Hidayah al-Ilham ini diberikan oleh Allah Swt., kepada manusia sejak masih bayi.
b. Hidayah al-Hawasi.
Hidayah al-Hawasi ini bisa juga disebut dengan hidayah pancaindra. Hawas ialah dria, atau indra, ataupun indria, yaitu alat yang peka terhadap rangsangan dating dari luar, seperti rangsangan cahaya, rangsangan bunyi dll. Panca indra yang dimaksud adalah alat melihat, alat mendengar, alat pencium, alat perasa, dan alat peraba. Seperti yang Allah jelaskan dalam surat al-Balad (90) , 8-10.
 Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”.
Dalam penerimaan hidayah jenis ini, antara manusia dan hewan memiliki persamaan. Hidayah al-Hawasi yang berupa indra ini dianugerahkan Allah Swt., baik kepada manusia maupun kepada hewan. Namun dalam beberapa hal indra hewani lebih sempurna dibandingkan dengan indra manusia. Indra manusia terkadang memberikan informasi dan laporan yang tidak benar, lagi pula sering tidak utuh dan menyeluruh. Mata yang memandang tongkat yang ada di dalam air, seakan benkok padahal kenyataannya tidak demikian.




c. Hidayah al-Aqli
Hidayah aqal ini hadir untuk meluruskan kekeliruan-kekeliruan panca indra. Aqal merupakan pengakomodir semua hal yang dihimpun oleh panca indra, kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang dapat berbeda dengan kesimpulan yang diperoleh indra-indra tersebut. Aqal berperan melebihi peran panca indra. Aqal lebih matang, jauh setelah kematangan panca indra dan karenanya aqal dinyatakan berada pada tingkatan yang ketiga.
Aqal merupakan pembeda antara manusia dan hewan, bahkan malaikat sekalipun. Hidayah aqal inilah yang menyebabkan manusia berbudaya dan sekaligus membedakan antara hewan dan insan. Sebagai makhluk yang berbudaya, maka manusia hidup bersama dengan orang lain, hidup bermasyarakat, meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya setaraf demi setaraf dari tingkat tertentu ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih baik. Namun demikian, aqal saja tidak cukup bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan sejati dan kebenaran hakiki. Hal ini diperingatkan oleh Allah pada surat al-Mulk (90), 22-23.
 Maka apakah orang yang berjalan terjungkel di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus ?. Katakanlah: Dialah yang menjadikan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”.

Hidayah al-Aqli ini merupakan hidayah yang dikhususkan oleh Allah Swt., kepada manusia, yang diikuti dengan hidayah al-Adyani sebagai pengendali dan pelurus aqal agar jangan tersesat dari jalan-Nya.
d. Hidayah al-Adyani
Hidayah al-Adyani ini biasa juga disebut dengan hidayah agama. Dengan aqal budi manusia semata-mata, belum merupakan jaminan bagi manusia untuk sampai kepada kebenaran yang hakiki. Dengan agama, Tuhan telah memperkenalkan kebenaran demi kebenaran. Kebenaran wahyu untuk mencapai hasrat citanya, kebahagiaan sejati dan kebenaran hakiki yang disuarakan dalam ayat demi ayat-Nya.
Dalam kaca mata, Nasution (1986 ; 79) Aqal sebagai hidayah yang diberikan oleh Allah Swt., merupakan bekal bagi manusia untuk dapat berfikir. Kekuatan fikir yang ada dalam diri manusia ini, menyebabkan dia berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan dan wahyu sebagai penghabaran dari alam metafisika turun ke pada manusia dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap-Nya.
e. Hidayah at-Taufiqi
Di samping agama sebagai hidayah Allah Swt., masih ada hidayah Allah yang lain, yaitu hidayah taufiq atau hidayah al-Maunah. Hidayah kategori ini diposisikan pada tempat ke lima atau yang terakhir dalam sederetan hidayah yang diberikan oleh Allah Swt., kepada manusia. Hidayah taufiq ini semata-mata berada dalam tangan Allah Swt., tidak ada seorangpun yang dapat memberikannya kepada manusia lain. Dalam sejarah dikisahkan bahwa ternyata Rasulullah Saw., sekalipun tak mampu memberikan hidayah kepada pamannya Abu Thalib, walaupun Abu Thalib telah berusaha dibujuk oleh beliau akan tetapi kenyataan berbicara lain. Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan tidak beriman, padahal Rasul sangat mencintai dan menyayangi beliau. Malah bujukan beliau itu, oleh Allah Swt., dianggap sebagai suatu hal yang salah. Allah Swt., menegur Rasulullah Saw., dengan firman-Nya pada surat al-Qashash (28), 56.
 Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.
Hidayah yang kita peroleh sekarang ini, dulu dan akan datang adalah merupakan hak preoregatif dari Allah, tak seorangpun di dunia ini yang mampu memberikannya kepada orang lain, tak terkecuali Rasulullah Saw., sebagaimana yang tersirat dalam ayat tersebut di atas.




3. Fungsi Hidayah Dalam Islam
Hidayah dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang keberadaannya sangat menentukan masa depan seseorang. Manusia yang tidak mendapatkan hidayah dari Allah Swt., tidak hanya akan mengalami kesengsaraan duniawi akan tetapi derita nan abadi sudah pasti menanti pada kehidupan akhirat. Hidayah yang diberikan oleh Allah kepada manusia terbagi ke dalam dua bahagian besar, yaitu
1. Hidayah yang merupakan bawaan sejak lahir
Hidayah bawaan ini merupakan pemberian dan karunia Allah Swt., kepada manusia dengan tidak melalui usaha lebih dahulu untuk mendapatkannya. Hidayah bawaan ini terkadang dimiliki pula oleh makhluk selain manusia, misalnya hewan dengan manusia masing-masing mempunyai rasa, indra dan lain sebagainya.
Adapun hidayah Allah Swt., yang merupakan hidayah bawaan sejak lahir adalah yang berupa hidayah al-Ilhami. Hidayah semacam ini serupa degan pemberian suara hati (gerak hati) kepada setiap orang. Suara hati ini selalu menuntun manusia kearah yang benar. Bisikan hati ini selamanya benar dan tidak pernah bohong serta tidak pernah sepakat terhadap pelanggaran dan ketidak adilan yang dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, karena desakan dari luar diri manusia itulah yang selalu melahirkan pengingkaran terhadap kata dan bisikan hati.
Hati yang suci sangat peka dan mudah menerima kebenaran, walau kebenaran itu datang dari orang yang menurut penilaian kita tidak pantas untuk menyuarakannya. Manusia dengan hidayah Allah Swt., berupa hati yang suci mampu menembus hal-hal yang sifatnya metafisika dan di luar jangkauan mata jasadiah kita. Walaupun semua orang mempunyai hati, akan tetapi tidak semua orang memiliki hati yang suci dan peka. Hal ini terjadi dan tergantung pada pemeliharaan diri dari hal-hal yang bisa menyebabkan hati menjadi kotor. Hati yang kotor dapat menyebabkan hati menjadi mati, dan dari hati yang mati inilah yang akan menjadi santapan neraka. Ancaman Allah ini dapat dilihat pada surat al-A’raf (7); 179.

Kesucian hati menjadi jembatan dan penyebab hati menjadi peka dan mudah menerima kebanaran. Oleh karena itu pemeliharaan hati (kata hati) agar tetap menjadi suci dan bersih telah diatur dalam Islam, dengan menjauhkan diri dari dosa lahir maupun dosa batin.
Lain halnya dengan hidayah Allah berupa panca indra. Panca indra ini merupakan penyempurna kejadian manusia. Hidayah Allah yang berupa indra ini merupakan pasilitas dasar bagi manusia di dalam menyampaikan hasratnya terhadap sesuatu yang menjadi obyek penelitiannya. Mata misalnya, di dalam meneliti sesuatu masalah akan segera melaporkan kepada otak tentang segala apa yang dilihatnya. Telinga tentang apa yang didengarnya, alat pencium tentang apa yang telah diciumnya, indra perasa tentang apa yang telah dirabanya.
Kekayaan manusia yang sifatnya inmateri ini perlu dipelihara dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif, ke arah yang diridhai Allah Swt., karena seluruh fasilitas yang kita nikmati di dalam kehidupan ini adalah merupakan karunia Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat nanti. Mensyukuri pemberian Allah Swt., berupa kelengkapan indra ini merupakan kewajiban, sebagaimana wajibnya kita mensyukuri nikmat Allah yang lain. Seperti yang telah ditegaskan oleh Allah Swt., dalam firman-Nya dalam surat Ibrahim (14); 7.
 Dan ingatlah juga, tatkala Tuhanmu memaklumkan, “ sesungguuhnyajika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamum dan jika kamu mengingkarinya, nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.

Mensyukuri ikmat Allah berupa panca indra ini dilakukan dengan jalan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk mengabdi kepada Allah sebagai upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Akal sebagai hidayah yang menjadi kebanggaan manusia, dan dibanggakan oleh Allah Swt., Hal ini pernah diutarakan oleh Allah di tengah-tengah unjuk rasa para malaikat yang menuntut penjelasan Allah atas kebijakan-Nya untuk menciptakan manusia di muka bumi. Ini dapat dibaca pada surat al-Baqrah (2); 33.
 Allah berfirman, Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman ; Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamun lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan”.

Akal yang merupakan barometer pembeda antara manusia dengan segala apa yang telah diciptakan oleh Allah di alam raya ini, karena manusia mampu mengembangkan manusia (dirinya) dan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk berbudaya, yang mampu dan cakap sebagai pengemban amanah dari Allah Swt., sebagai penjaga, pemelihara dan pemakmur bumi ini.
Hidayah Allah berupa akal ini akan berjalan sesuai dengan kehendak penciptanya apabila dipupuk dan dibina di atas nilai-nilai iman yang mengkristal di dalam dada setiap insan. Keputusan untuk membina aqal melalui didikan agama merupakan kemutlakan dan keputusan yang bijak, agar akal tidak melanglang buana mengumpulkan ilmu-ilmu sekuler yang tidak hanya akan menghancurkan diri sendiri akan tetapi akan menghancurkan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan. Akal memang memang merupakan pasilitas yang paling istimewa yang ada pada setiap insan, akan tetapi akal bukan di atas segalanya.
2. Hidayah yang merupakan pengaruh dari luar diri manusia
Walaupun manusia terlahir dengan fitrah, namun manusia tidak kuasa menghindar dan menafikan kenyataan bahwa lingkungan banyak membawa warna bagi kehidupan manusia. Dari sini manusia dituntut untuk menjatuhkan pilihan apakah kita ingin bahagia di dunia dan di akhirat atau tidak. Kebahagiaan manusia tergantung pada pilihan yang diambilnya, apakah dia tetap berada dalam fitrah (beragama) atau justru menjadi hamba dunia dan pelanggeng kesesatan.
Agama sebagai hidayah yang diturunkan oleh Allah Swt., untuk mengatur tatanan hidup dan kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Khaliknya maupun yang berhubungan dengan manusia lain dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial. Manusia dengan petunjuk agama mampu menata dan menentukan masa depannya, oleh karena agama merupakan produk dari zat yang maha kuasa, Sang penentu segalanya.
Secara fitrawi, agama memang merupakan kebutuhan setiap manusia, akan tetapi banyak manusia yang menyalahi fitrah beragama yang melekat pada dirinya, yang membawanya jauh dari nikamatnya hidup beragama. Keengganan manusia untuk mengecap indah dan nikmatnya hidup beragama antara lain dipicu oleh warna wasyarakat dimana seseorang hidup berkelompok. Andai dalam sebuah masyarakat tumbuh iklim beragama secara subur, maka kenikmatan hidup beragama akan mempesona kepada seluruh masyarakat yang ada di dalamnya. Sebaliknya, apabila sebuah masyarakat gersang dan kering dari nilai-nilai agama, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang hampa dan jauh dari nur ilahi yang membahagiakan.
Hidayah taufiq inilah yang menjadi penentu dari sederetan usaha manusia dalam menjatuhkan dan menentukan pilihan, agama mana yang menjadi pilihan hatinya dan menjadi wujud keyakinannya. Hidayah taufiq ini kepunyaan Allah semata dan akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Betapa dalam referensi ke-Islam-an, kita jumpai kenyataan bahwa hidayah taufiq ini merupakan hak mutlak Allah, misalnya Ibrahin As., tiada kuasa menggait ayah kandungnya dalam menggapai hidayah, serta nabi Nuh As., tiada berdaya merubah keyakinan istri dan anaknya tercinta ke dalam naungan hidayah taufiq ini.
Dalam kenyataannya, manusia sendirilah yang cenderung mengabaikan dan tidak memelihara amanah yang telah dimilikinya serta tidak memelihara tubuh dan jiwanya, sesuai dengan petunjuk Allah. Jiwanya diisi dengan pikiran dan perasaan yang mendorong jasmaninya mengerjakan sesuatu yang melanggar perintah Allah. Kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa semua anggota tubuh (hidayah), termasuk otak yang memiliki kemampuan berfikir dan hati nuraninya yang merasakan, diciptakannya sebagai nikmat dan amanah yang harus disyukuri keberadaannya. Karena itu, jika digunakan untuk berbuat dosa dan maksiat, bukan hanya tidak mampu mensyukurinya, tetapi malah membawa jiwa dan raganya ke dalam situasi yang membahayakan dirinya sendiri.
Manusia berkewajiban menjaga dan memelihara serta mengambil faedah yang sebesar-besarnya dari nikmat Allah berupa hidayah ini. Tubuh dengan kelengkapannya, harus diupayakan untuk menguasai berbagai keterampilan dan keahlian, agar dapat mengemban amanah kekhalifahan dalam rangka kemakmuran bumi ini.
Keterampilan dan keahlian sangat diperlukan di abad modern, tidak hanya supaya manusia itu produktif, tetapi juga supaya manusia mampu mempertahankan kehidupannya secara layak dan manusiawi (Nawawi; 193; 401). Sejalan dengan itu manusia dituntut dan berkewajiban mengisi perkembangan jiwanya dengan akhlak yang terpuji sesuai dengan nilai-nilai yang diridhai oleh Allah.
Demikian fungsi hidayah dalam Islam, dengan pemanfaatan segala potensi yang dimiliki manusia sebagai hidayah dari Allah Swt., maka manusia diharapkan mampu mencapai ridha dari Allah Swt., yang senang dan disenangi serta menjadi insan-insan syakur. Kemampuan mensyukuri kondisi penciptaan itu, dapat menghindarkan manusia dari penyimpangan berfikir, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, dalam berhadapan dengan manusia lainnya, diri sendiri dan dengan penciptanya.











BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan.
1. Manusia dalam mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi, senantiasa dipantau dan dikontrol oleh Allah Swt.
2. Para ulama dan ahli agama membagi hidayah Allah ke dalam empat macam dengan tahapan yang bertingkat. Pertama adalah naluri, Kedua pancaindra, Ketiga akal dan yang Keempat adalah agama.
3. Hidayah dalam Islam berfungsi untuk menjadikan manusia mampu mencapai ridha dari Allah Swt., yang senang dan disenangi serta menjadi insan-insan syakur.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1989.
H. Endang Saefuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Jakarta, CV. Rajawali, t. th.
H.M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Amanah, Jakarta : Pustaka Kartini, 1992.
Muhaimain dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, PT. Trigedi, 1993.

 





































DISCOVERY AND INQUIRY

DISCOVERY AND INQUIRY Bangunan berlantai dua yang berdiri diatas lahan 1508 m 2 itu tampak sunyi senyap disepertiga malam akhir. Se...